Selasa, 21 Agustus 2012

Berjilbab vs Mati

Saat itu aku masih kelas 6 SD saat aku berbincang bersama kakak laki-laki tertuaku dan ibu. Ibu memberi arahan mengenai SMP yang bagus yang terbaik yang bisa - harus - aku masuki setelah lulus SD. Ibu menginginkan aku mengikuti jejak kakakku yang masuk SMP favorit di kota. Namun, kakakku segera mengatakan bahwa aku masuk pesantren gontor saja.

"Apa! Nginep di rumah nenek yang deket aja ga betah apalagi tinggal di pesantren. Ga mau!!!" teriakku dalam hati.
"Ya, liat nanti." kata ibu.
"Kalau Desi ga bisa masuk SMPN 3 atau 1, berarti masuk gontor." kata kakakku kemudian.

Bagiku, ini seakan ultimatum yang tiada kata untuk menolak/menyanggah sehingga meski hati menjerit tidak, lidahku kelu untuk mengungkapkannya apalagi kepada kakak yang dulu bagiku sangatlah galak melebihi ibu. Jadi sebenarnya perbincangan saat itu lebih merupakan perbincangan satu arah - mengarah padaku - . Di satu sisi, ultimatum itu mendorongku untuk belajar lebih serius agar bisa memenuhi harapan ibu.

Namun, apa mau dikata, ketika waktu pengumuman kelulusan tiba, Nilai Ebtanas Murni (NEM) ku tidaklah besar sehingga tidak bisa masuk ke sekolah-sekolah favorit. Di saat itulah, hatiku mulai tidak karuan. Sungguh aku tak mau masuk pesantren karena aku tidak bisa tinggal jauh dari ibu saat itu.

Aku tidak ingat, apakah aku merengek saat itu kepada ibu agar aku tidak dimasukkan pesantren ataukah ibu sendiri yang tidak rela anak perempuan satu-satunya meninggalkannya jauh-jauh sehingga pada akhirnya aku pun tidak dimasukkan ke pesantren. Aku masuk SMP meski tidaklah yang favorit tetapi yang lumayan bagus - katanya -.

Perbincangan antara aku, ibu beserta kakak laki-laki tertuaku kembali terjadi sebelum aku mendaftar dan mulai sekolah di SMP itu. Kali ini, tidak lagi mengenai sekolah lanjutanku tetapi mengenai hal lain. Kakakku yang merupakan aktifis rohis di SMA nya begitu menggebu menyuruhku untuk berjilbab. Saat itu aku tak tahu, apa sih pentingnya berjilbab itu. Lagipula aku masih kecil, pikirku. Ibu memiliki pemikiran yang sama denganku sepertinya sehingga tak keluar sedikitpun kata-kata ibu yang menyuruhku menurut pada kakakku.

Meski aku, lagi-lagi, tak bisa mengungkapkan keenggananku untuk berjilbab, kakak tidak bisa memaksa jika ibu tak setuju. Akhirnya, seragam SMP yang dibelipun kemeja putih berlengan pendek dan rok biru sepanjang lutut.

Hari-hari baru di SMP aku jalani tidak tanpa pengawasan kakak laki-laki tertuaku itu. Pakaian seragam yang aku kenakan ia perhatikan. Jika menurutnya ketat, dia ingatkan aku untuk tidak memakainya lagi. Alhamdulillah, hidayah dari Allah, aku pun merasa tidak nyaman dengan pakaian ketat sehingga seragam dan pakaian lainnya yang sering sekali kupakai adalah yang longgar. Jujur, dulu meskipun belum berjilbab, aku tak mau / tak suka ada lelaki yang menggodaku ketika aku lewat atau memandangi dada dan lekukan tubuhku. Entahlah, risih rasanya.

Selain itu, kakakku pun tidak bosan-bosannya menasihatiku agar berjilbab. Saat itu, seperti biasa, aku tidak bisa berkata tidak meski diri ini bertanya-tanya, "kenapa sih kakakku segitunya?! Kenapa aku harus berjilbab?"

Seperti yang kukatakan, kakakku tidak bosan, berbulan-bulan hingga aku naik ke kelas 3 SMP, di sela-sela perbincangan aku dan dia, kakak mengingatkan agar aku berjilbab. Dengan petunjuk dari-Nya, aku dipertemukan dengan seorang siswi berjilbab sangat panjang. Dia berbeda kelas denganku dan kami tidak dalam satu organisasi. Namun, takdir Allah, kami jadi saling kenal dan dekat sehingga kami seringkali ke pengajian di DT setiap hari Ahad bersama-sama. Oleh karena itu, jika sebelumnya aku mengaji dengan kakakku saja, sejak aku mengenal siswi itu, kami pergi bertiga. Kakakku yang mengantarkan dan menemani kami. Kakakku amat senang, adiknya kenal dengan siswi berjilbab itu sehingga ada celahlah kakak untuk memotivasiku agar berjilbab sepertinya juga.

Alhamdulillah, hidayah Allah, kemauanku untuk berjilbabpun muncul di cawu ke-2 kelas 3 meski masih tak tahu apa hakikatnya. Namun, karena tanggung mau lulus, sayang beli seragam baru yang panjang. niat berjilbab pun diurungkan. Jujur, pada saat itu, aku merasa senang karena tak jadi dijilbab - masih labil -.

Beberapa bulan kemudian, akupun lulus SMP. Kakak mengingatkan kembali, "Sekarang, bener ya dijilbab. Mau nanti keburu mati?"

Bagaikan pisau menghujam dada, kata-kata itu membuatku jadi berpikir betapa pentingnya berjilbab meskipun masih belum tahu hakikatnya. Sejak itu, aku azamkan, "Ya, insya Allah aku akan berjilbab
 setelah mendapat seragam SMA." 

Sejak itu, aku memesan seragam SMA yang panjang untuk berjilbab. Ibu dan aku pun mulai mengumpulkan (membeli) pakaian-pakaian panjang agar bisa dikenakan dengan jilbab.

Aku bertambah tidak ragu untuk berjilbab ketika tahu teman-teman sekelasku pun berjilbab setelah mendapatkan seragam SMA.



-based on true story but has been modified-

Allah berfirman,
   "Dan katakanlah kepada para perempuan yang BERIMAN, agar mereka menjaga pandangannya, dan memlihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya. ..." (Q.S. An-Nuur (24) : 31)

Allah pun berfirman,
   "Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin, "Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka." Yang demikian itu agar mereka lebih dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang."

Berjilbablah meskipun engkau merasa belum siap.
berjilbablah meskipun masih ada bisikan yang mengatakan engkau belum siap.
SIAP lah menaati Allah sebelum malaikat izroil siap mencabut nyawamu. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar